lagi beres-beres kamar ketemu tumpukkan kertas waktu mau dibuang ke tempat sampah eh ada yang ketinggalan pas gw buka "Harga Waktu Ayah" ihh menarik banget judulnya...
isinya seperti ini....
"Harga Waktu Ayah"
Andre, seorang anak yang setiap sore selalu menanti kepulangan ayahnya dari kantor untuk sekedar mengajaknya bermain. Suatu sore, sepulang kerja, sang ayah ditanya oleh Andre, "Ayah, ayah kerja di kantor dibayar berapa sih sebulan??"
Sembari mengernyitkan dahi si ayah menjawab, "ya, sekitar Rp. 2.500.000!!". Kalau sehari berarti berapa, ya?"sela Andre. Ayah mulai bingung, "Seratus ribu rupiah, ada apa sih??kok tanya gaji segala!!.
Akan tetapi, Andre tetap bertanya lagi, "kalau, setengah hari berarti limapuluh ribu dong yah??". "iya, memangnya kenapa?", sahut ayah mulai jengkel.
Si anak dengan mantap mengajukkan permohonan, "Gini, Yah, tolong tambahin tabungan Andre dong lima ribu aja. Soalnya , Andre sudah punya tabungan sebesar Rp. 45.000. Rencananya, Andre mau "membeli" Ayah setengah hari aja supaya kita bisa pergi memancing bersama!!".
Satu hal yang sering menjadi kendala kita sebagai seorang ayah dalam membangun tatanan keluarga yang tangguh dan harmonis adalah "si pencuri waktu". Urusan kantor, bisnis sampingan, maupun kegemaran pribadi acapkali menjadi musush dalam selimut yang secara tidak langsung merongrong kesempatan emas yang kita miliki untuk bercengkrama dengan si anak. Dalih yang biasa dipergunakan oleh si pencuri waktu sendiri adalah demi masa depan keluarga, loyalitas kerja, atau untuk membiarkan asap dapur tetap ngebul.
Siapa Ayah sebenarnya??Ketika masih kecil, kerapkali anak mengklaim bahwa pahlawan (hero) yang paling hebat adalah ayahnya sendiri. Sering pula anak melakukan proses identifikasi dengan "ke-Pria-an" yang diaktualisasikan sang ayah, ketika untuk pertama kalinya si anak mengatakan, "Papa" atau "Ayah atau "Abah" atau sebutan lain. Bahkan, seorang filsuf pernah mengatakan bahwa Tuhan yang dilihat si anak pada masa kecil adalah ayahnya sendiri. Ahli lain mengatakan, pohon dikenal melalui buahnya (like father like son). Setelah besar dan menginjak remaja atau pemuda tidak jarang posisi ayah yang tadinya pahlawan berubah menjadi musuh.
Investasi terindah yang dapat kita berikan kepada putra-putri kita adlah waktu dan kualitas komunikasi yang proporsional bagi mereka, Zig Ziglar pernah berseloroh dalam suatu seminarnya, "Kehadiran dan percakapan anda dihadapan anak-anakmu, lebih dari ribuan hadiah". "kurangnya komunikasi di rumah akan membuat anak mencari informasi dari dunia luar rumah yang belum tentu benar adanya.
"Apa yang ditabur, itupula yang di tuai," demikian pepatah lama masih terngiang jernih dalam ingatan kita. Ketika anak masih kecil, sebagai orang tua (ayah) jarang mendengarkan mereka. Setelah mereka besar, mereka pun akan jarang mendengarkan orangtuanya.. Inilah awal mulanya terkenal istilah kenakalan remaja, yang secara tidak sadar dikontribusikan terlebih dahulu oleh kenakalan orangtuanya, yang telah "berselingkuh" dengan si pencuri waktu. Itulah sebabnya Spencer Jhonson dalam bukunya The One Minute Father mengatakan cara yang terbaik agar anak-anak kita mendengarkan kita adalah dengan mendengarkan mereka. Bagi si anak, didengarkan merupakan bagian penting dalam implementasi cinta orang tuanya. Jika ditelusuri lebih lanjut, memang ada perbedaan besar antara dicintai dengan merasa dicintai.
Bill Havens, seorang pendayung hebat yang berskala internasional ketika dalam masa karantina untuk persiapan piala dunia mendayung menerima teleks yang mengatakan bahwa istrinya kemungkinan dalam 2-3 hari akan melahirkan. Setelah menerima kabar, Bill memilih dan memutuskan berangkat ke kota asalnya dan berpamitan untuk tidak mengikuti kejuaran dunia yang telah dipersiapkan baginya. Ia memutuskan untuk menunggui istrinya yang akan melahirkan ketika itu. Pada 1952, Bill Havens mendapatkan telegram dari putranya, Frank, yang baru saja memenangkan medali emas dalam final kano 10.000 m pada Olimpiade di Helsinki, Finlandia. Telegram tersebut berbunyi "Ayah terima kasih karena telah menunggu kelahiran saya, saya akan pulang membawa medali emas yang seharusnya ayah menangkan beberapa tahun yang lalu........Anakmu Tersayang, Frank."
Bekerja tidak akan memberikan investasi lebih permanen jika dibandingkan dengan memberikan waktu yang cukup untuk anak dan keluarga. Usia 55 tahun merupakan akhir dari perhentian berkarya, namun karya yang diinvestasikan dalam kenangan anak tidak akan berakhir hingga maut yang memisahkannya. Pilihan, tentu ada dalam diri masing-masing, namun, Bill Havens dalam cerita diatas telah memilih yang terbaik. Sekaligus mengingatkan kita pada pernyataan Patricik M. Morley yang spektakuler. "Saya lenoh memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa, asalkan bisa menjadi seorang yang berarti bagi anak-anak saya.
Mungkin lagu yang pernah kita dengar sebelumnya dapat kita dengar kembali dari alam sana menjadi senandung terindah, ketika anak-anak yang kita kasihi menyanyikan lagu bagian Reff-nya Rinto Harahap, "Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau airmata di pipiku, Ayah dengarkanlah aku ingin bertemu walau hanya dalam mimpi".
sayangnya gw gak tau sumbernya soalnya gak ditulis, hanya selembar kertas ajja.... :D